Ayah saya itu...
Kamis, Februari 27, 2014
Namanya
Soekarno, namun ia bukan presiden, ia bukanlah
orang nomor satu di negeri ini, bukan pula politisi, ia adalah seorang yang
menkjubkan nomor satu dihati saya, yang membuat saya tak pernah berhenti
bersyukur karena telah memilikinya. Dia lah ayah saya, ayah paling hebat nomor
satu seluruh dunia!
Ia pria yang
keras, sering sekali marah. Dulu saya kira ayah saya adalah orang yang paling
temperamental yang pernah saya kenal. Beliau sering sekali memukul saya sewaktu
saya masih SD. Karna saya bangun siang, tidak segera sholat, tidak berangkat
pengajian, atau pulang lewat dari waktu maghrib. Pernah juga saking kesalnya
sama kenalakan saya waktu kecil dulu, saya dilemparin ke got depan rumah. Saya
waktu nangis sebisanya, nangis
gelur-gelur kalau orang jawa bilang, sampe sesenggukan dipelukan paling
hangat sepanjang masa, pelukan Ibu.
Tapi kini saya mulai
paham dan mengerti, mengapa ayah bisa sekeras itu, mungkin dipengaruhi
kehidupan waktu kecilnya yang juga keras. Saya ingat ceritanya dulu, ketika ia
harus pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar agar bisa bersekolah, meski harus
berjalan puluhan kilometer mulai jam 2 pagi. Sebab, mungkin memang pemikiran
Eyang jaman dulu, terlebih didesa kecil diperbatasan Jawa Tengah dan Jawa
Timur, yang katanya masih kolot, bahwa
anak nomor satu seperti ayah tidak perlu sekolah, bekerja saja dan membantu keluarga,
agar adik-adiknya nanti yang bisa sekolah. Tapi Ayah masih nekat, bagaimana
caranya agar bisa menuntut ilmu. Katanya, justru karna ia anak nomor satu, maka
ia harus sukses agar kelak dapat membantu keluarga. Pernah katanya ia sampai
memecahkan kaca jendela rumah, karna begitu marahnya ia ketika tidak diberi
uang untuk membayar sekolahnya. Tapi, ayah selalu juara satu sejak SD sampai
lulus di sebuah STM Pertanian. Kemudian merantau, ke Papua (yang waktu itu
namanya Irian Jaya), ketika ia berhasil menjadi pegawai dan tugas dipedalaman
selama beberapa waktu. Lalu kembali bertugas di Kota, bertemu Ibuku yang dulu
juga merantau, hingga melahirkan aku dan adikku sebelum akhirnya kami pindah ke
Jawa ketika aku kelas 3 SD, katanya, ingin dekat dengan keluarga.
Ayah, orang yang
dirumah kupanggil dengan sebutan Bapak adalah seorang yang mandiri, pekerja
keras dan bertanggungjawab. Setiap harinya, setelah sholat subuh ia akan pergi
kesawah, sekedar memantau atau mencabuti rumput. Sekitar jam 6 dia akan pulang,
mandi, sarapan, kemudian berangkat ke kantor sambil mengantar adik-adik
sekolah. Jam 12, waktu istirahat, Ayah akan pulang untuk makan siang karna
kebetulan tempat ayah bekerja tidak jauh dari rumah. Jam 4 sore ia pulang
sebentar untuk berganti pakaian, berangkat lagi ke sawah. Kecuali hari senin
dan kamis, ia akan kembali ke kantor untuk bermain Tennis bersama
teman-temannya. Malamnya, ia berangkat pengajian. Tidak pernah lewat di hari
Senin dan Rabu, kadang juga musyawarah di Masjid, dan rutin di setiap malam
minggu masuk ke desa-desa untung memberikan penyuluhan pada kelompok tani yang
dibinanya, salah satu tugas dari pekerjaanya sebagai Penyuluh Pertanian.
Aktivitasnya
begitu banyak ya, meski diusianya yang mulai renta. Tapi ayah, tak pernah
mengeluh. Hanya saja, ketika sedang banyak masalah dan terlalu lelah, biasanya
ia melampiaskannya dengan marah. Kalau sudah begitu, satu rumah biasanya kena.
Bergerak sedikit saja bisa kena marah, semuanya diam. Taka da yang berani
berkata. Tapi marahnya, isinya adalah nasihat, intinya agar kami selalu
disiplin, rajin bekerja, dan beribadah. Hanya saja, nada bicaranya lebih tinggi
dari biasanya, hhe.
Pakdhe pernah bilang, “Bapakmu itu kayak ndak punya capek. Pagi kesawah, terus ke
kantor, ke sawah lagi, kadang tengah malam juga masih ke sawah lagi mengairi
sawah”.
Saya
pernah sekali bertanya pada Ayah, saat saya sedang libur sekolah dan
mengantarkan makan untuk Ayah disawah..
“Pak, apa ndak
capek? Udah kerja di kantor, masih mengurusi sawah yang seluas ini. Apa ndak
mending suruh orang lain saja yang ngerjain dan Bapak bisa istirahat dirumah,
atau melakukan hal lain?”
“Ndug cah ayu.. Lihat itu hamparan padi
yang meluas, apa yang kau rasakan? Tenang bukan? Tentram dihati. Asal bisa nggarap sawah saja Bapak sudah senang,
dihati tu rasanya tentram.. Ini tu kecintaan, bukan pekerjaan.. ” Jawab Ayah
dengan sangat tenang diantara semilir angin sejuk di sawah waktu itu. Iya,
rasanya tentram sekali memandangi ini, belum lagi dengan pemandangan megahnya
gunung Lawu itu.. Nyaman sekali.. Diantara berbagai permasalahan hidup yang
penat, hanya suasana inilah yang bisa menenagkan dan menentramkan hati Ayah.
“Apa yang kita
unduh, adalah hasil dari apa yang kita tanam.. Waktu kecil mungkin Bapak ndidik
kamu terlalu keras, tapi Bapak cuma ingin satu, supaya kamu bisa kuat dalam
menjalani hidup yang keras. Bapak mau kamu jadi wanita yang tangguh, yang ndak mudah terpuruk karena keadaan. Kamu
itu anak Bapak yang pertama, tentu kamu yang selalu menjadi utama. Mungkin memang Bapak ndak bisa
memberikan semua yang kamu inginkan, tapi Bapak pastikan, kamu selalu mendapat
apa yang kamu butuhkan, iya to ndug?
Bapak ingin agar kamu bisa berhasil kelak dan membantu adik-adikmu ini yang
mungkin bapak nanti sudah tidak mampu. Bapak selalu ingin agar kamu bisa
berdiri diatas kakimu sendiri, tidak bergantung pada Bapak.. Tapi bukan berarti
Bapak lepas tangan, ketika kamu mungkin suatu saat mengalami kesulitan, Bapak
pasti akan bantu, tidak mungkin membiarkan kamu begitu saja.. Apapun mimpimu,
berusahalah wujudkan itu, Bapak selalu ndukung nduk..”
Ayah saya selalu
mengatakan untuk menjadi orang yang jujur, pertama kali, untuk jujur pada diri
sendiri, pada apa yang ingin saya lakukan dalam hidup ini. Ayah memang
menginginkan saya berprofesi sebagai guru saja, katanya sangat bermanfaat, karna ia yang menanamkan ilmu pada muridnya. Tapi ayah tidak
pernah marah ketika saya katakan saya ingin menjadi seorang engineer, masuk
jurusan teknik informatika yang isinya banyak pria nya. Walaupun awalnya
sedikit meragu, mengingat dunia ini masih sedikit asing baginya, saya akan
kerja seperti apa, programmer itu apa, apa yang akan saya lakukan, mau kerja
apa dansebagainya. Tapi saya katakan pada Ayah, saya punya passion. Dan saya percaya ini. Saya juga bisa membawa manfaat dari
sini, menciptakan aplikasi-aplikasi yang tentunya akan mempermudah banyak
orang, lihat Ayah, tentang apa yang sedang kukembangkan.
Ayah juga selalu
menasihati saya untuk berbuat baik pada sesama, husnudzonbillah, harus bisa
mandiri, jadi orang yang pemberani, apabila saya tau saya benar, maka saya
tidak boleh takut. Ada Allah yang akan selalu melindungi kita. Ayah selalu
mengajak saya untuk bersyukur, selalu menjaga iman dan taqwa kepada Allah SWT,
dan menjadi sebaik-baiknya manusia, yang menebar manfaat bagi sesama dan
mengajak pada kebaikan. Ayah saya, bukan presiden, bukan orang nomor satu di
negeri ini, tapi ia adalah Ayah nomor satu seluruh dunia untuk saya! :D
1 comments
Like this.. suka banget sma tulisan yg ini.. mengingatkan saya dg ayah saya juga yg skrg di sberang sna yg insyaALLAH slalu mndoakn ksukseskan anaknya.. Kmu org yg bruntung mmiliki ayah yg snagat luar biasa sperti itu :).
BalasHapusmari meninggalkan jejak :)