Hari-hari ini jadi jarang nulis ya? Padahal yang ada di otak ini banyaak sekali, kadang berputar-putar sendiri, merangkai-rangkai kalimat namun tak mampu tertuang dalam tulisan. Beberapa waktu saya meluangkan waktu untuk menonton sebuah film yang ceritanya legendaris, Si Doel The Movie. Bersama seorang teman baik, yang kebetulan sedang main ke tempat saya. Saya mengajaknya, kami setuju dan kami akhirnya nonton berdua. Namanya Ayu, salah satu teman terbaik saya :)
Saya tidak tau harus mulai dari mana me-review film ini, dan, pantaskah tulisan ini dikatakan review? Sedang kelihatannya saya akan banyak curhat dan berpendapat tentang cerita dan karakter masing-masing pemerannya: Sarah, Doel dan Zaenab. Hahahaa... Duh, mulai dari mana.
Di Si Doel The Movie ini, diceritakan bahwa Doel telah menikah dengan Zaenab. Adegan pertama adalah saat Doel dan Mandra bersiap untuk ke Belanda, berpamitan pada Zaenab, Atun, dan Mak. Oh ya, disini tokoh Mak Aminah Cendrakasih yang ternyata berada dalam kondisi sebenarnya, bahwa Mak Aminah telah kehilangan penglihatannya karena glukoma dan sudah terbaring di tempat tidur karena sakitnya. Sebelum berangkat, Mak memberi nasihat dan wejangan kepada Doel, agar nanti di Belanda tidak perlu mencari Sarah lagi, Sarah telah lama meninggalkannya, sedang Doel sekarang juga telah memiliki Zaenab, yang telah begitu baik dan menjaga Mak selama ini.
Waktu awal-awal nonton seperti nostalgia lagi dengan tokoh-tokohnya, terutama celetukan khas si Mandra, bikin kita ketawa-tawa, menghidupkan suasana. Tidak ada pemain yang diganti dalam film ini, semuanya masih sama seperti yang dulu. Mas Karyo- yang diperankan oleh Basuki- juga diceritakan telah meninggal beberapa tahun silam. Satu-satunya pemain baru, ya, anaknya Atun yang terpaksa harus ke sekolah dengan buku diiket-iket karna tas sekolahnya dibawa Mandra ke Belanda XD Disamping kegalauan Doel dan juga kepolosan Zaenab. Duh, jadi gemas sendiri karena konfliknya ga berkesudahan. Tapi mereka harus menjalani hidup yang seperti itu? Kadang bikin saya takut, Tuhan, aku tidak ingin menjadi seperti salah satu dari ketiganya, Sarah, Doel, apalagi Zaenab.
Kembali ke cerita, di Belanda Mandra dan Doel bertemu Hans, beebrapa hari di Belanda sampai akhirnya Doel bertemu Sarah di Museum, sebuah percakapan yang kaku banget diantara dua orang yang masih suami istri setelah 14 tahun tidak bertemu. Ada sebuah alasan mengapa setelah sekian lama Sarah ingin bertemu kembali dengan Doel, yaitu bahwa anak mereka yang juga dinamai Abdullah- panggilannya Doel, ingin sekali bertemu Bapaknya : Si Doel.
Beberapa adegan yang terjadi terasa biasa saja, seolah tak terjadi apa-apa, benar-benar terasa biasa-biasa aja, konfliknya kurang drama, tidak sedramatis yang saya bayangkanlah pokoknya *atau hidupku aja yang kelewatan drama. Rasanya kayak liat film dokumenter. Momen pertemuan Doel dan Sarah, atau Doel dengan anaknya, rasanya, ahh, begitulah. Tapi, zaman sudah berbeda, usia mereka juga tak lagi muda. Mungkin susah untuk membangun konfliknya, apalagi kalo dibikin terlalu dramatis kaya sinetron-sinetron jaman sekarang, rasanya gak bakal cocok juga.
Narasi waktu pertemuan Doel dengan anaknya.. Doel disitu hanya diam saja, ga ada inisiatif apa-apa. Memang sih anaknya tidak begitu ramah pada awalnya, wajar lah ya baru bertemu bapaknya untuk ertama kali setelah belasan tahun. Tapi Doel disini menyikapinya dengan dingin. Iya, tau sih Doel ini dari mukanya sangat dipenuhi rasa bersalah. Tapi, Doel disitu beda sekali dengan apa yang ada dibayanganku, aku menantikan momen super drama *halah. Bukankah ia harusnya bisa jadi panutan orang tua yang mengasihi anaknya? Seperti Babe Sabeni selalu mengasihi dan melakukan apapun untuk Doel. Di sana malah terlihat kesan seperti Doel menyalahkan anaknya yang tidak sopan kepadanya. Doel, seakan menjauh dari fakta-fakta bahwa ia pernah sehebat itu dalam sinetron. Yang katanya anak gedongan, yang katanya anak betawi yang jadi insinyur hebat.
Oke, baiklah, sekarang saatnya komentarrr panjang lebarrr~
Yang jelas selama film berjalan itu saya geregetan banget, dari tadi Mandraa terus yang bawel, sementara yang punya konflik sesungguhnya, Si Doel ini terlihat lebih banyak diam, meneng, meski dari raut wajahnya terlihat sangat murung, bingung, penuh rasa bersalah, ahh, keliatan seperti ada banyak sekali hal yang ada di pikirannya. Begitulah, tapi tetap saja geregetan dengan pria macam ini, tidak bisakah ia lebih tegas?
Ohiya, sedikit singkat cerita kilas balik, bahwa diceritakan sebelumnya bahwa pada akhirnya Doel menikah dengan Sarah, sedangkan Zaenab juga menikah dengan orang lain. Namun ada suatu kejadian yang membuat Sarah sangat cemburu dan marah hingga memutuskan pergi ke Belanda, pada waktu itu Sarah dalam keadaan hamil. Sedang Doel pada saat itu tidak punya banyak uang untuk menyusul ke Belanda, pun tidak tau jika sampai disana, dia harus mencari kemana. Sepuluh tahun berlalu, kemudian ia menikah siri dengan Zaenab.
Tapi kalau diingat lagi dari sejak jaman sinetron dulu, memang si Doel ini digambarkan sebagai pria yang memang tidak tegas terhadap Zaenab dan Sarah, meski kalau diliat lagi ya, Doel ini jelas cintanya sama Sarah, tapi ia tak mampu tegas dan selalu terlihat baik dan perhatian pada Zaenab, hingga, ya, membuat Sarah marah dan cemburu. Doel tau jelas bahwa itulah yang selalu menimbulkan masalah diantara ia dan Sarah, dan Doel tau jelas bahwa Sarah mudah sekali cemburu pada Zaenab, tapi tetap saja, ia tetap melakukannya kan? Sedih juga kalo jadi Sarah.
Duh, waktu saya ngobrol sama Ayu, dia bilang "Duh, kasian banget ya mbak si Zaenab. Duh, aku ga mau deh kalau ada di posisi dia. Sakit hati mulu dia Nih, kapan senengnya.." Saya diam dan membalas "Aku juga tidak mau kalau ada di posisi Doel. Harus punya kenangan mencintai seseorang sedalam itu tapi tak mampu berbuat apa-apa, bahkan ketika telah bersama Zaenab pun tetap harus memikirkan orang lain : Sarah. " Dan kami berdua jelas sama-sama tidak mau berada di posisi Sarah, yang harus selalu cemburu karena pria yang ia cintai begitu baiknya kepada wanita lain yang jelas-jelas menaruh hati pada pasangan kita. Hah, kesel juga lama-lama nulisnya.
Saya ingat di akhir film, ada satu scene dimana Doel bicara agak panjang, eh, itupun monolog, tentang permintaan maafnya kepada tiga orang wanita : Mak, Sarah, dan Zaenab. Tiga wanita yang merasa ia sakiti, tanpa pernah bermaksud menyakitinya. Dan voice over pula, bibirnya tetap saja tertutup. Duh aku sedih Doel, bisa lebih tegas dikit ga? Aku gemes. Bahkan setelah belasan tahun berlalu, tetap saja kamu masih terombang-ambing, Doel.
Bang Doel, dek cuma mau bilang, sikapmu yang tidak tegas itu memperlihatkan lemahnya laki-laki, kamu ingin membahagiakan Zaenab sekaligus mendapatkan cinta Sarah? Yah ngga bisa dong Bang. Kecuali kamu nurutin saran penulisnya Mojok, kamu nonton Ayat-Ayat Cinta terus mengikuti jejaknya Fahri T.T
Tapi, bukankah di dalam hidup ini tidak semua hal yang kita inginkan dapat kita miliki, Bang? Tapi, mungkin kisah mereka itu lebih dari sekedar cinta-cintaan biasa, konfliknya mungkin sudah pada level yang berbeda dengan dimana aku berada sekarang, dengan cara pikirku yang sekarang, dengan permasalahan remeh-temeh yang ku hadapi sekarang. Itu pasti jauh berbeda dan cara mereka menyikapinya juga berbeda. Barangkali, satu hari nanti aku dapat lebih bijak lagi.
Ahh, di akhir film masih saja tetap kesal dengan wajah murung Doel, murung bingung penuh rasa bersalah tapi ga berbuat apa-apa. Tapi film ini masih akan berlanjut ke part selanjutnya, ketika Sarah kembali ke Jakarta dan anak Doel mulai sekolah SMA disana. Apakah, di part yang kedua akan ada penyelesaian akhir cerita cinta Si Doel yang terombang-ambing bertahun-tahun ini? Heuu, mari kita nantikan saja sekuel selanjutnya. Semoga penonton ga dibikin geregetan lagi.
Di Si Doel The Movie ini, diceritakan bahwa Doel telah menikah dengan Zaenab. Adegan pertama adalah saat Doel dan Mandra bersiap untuk ke Belanda, berpamitan pada Zaenab, Atun, dan Mak. Oh ya, disini tokoh Mak Aminah Cendrakasih yang ternyata berada dalam kondisi sebenarnya, bahwa Mak Aminah telah kehilangan penglihatannya karena glukoma dan sudah terbaring di tempat tidur karena sakitnya. Sebelum berangkat, Mak memberi nasihat dan wejangan kepada Doel, agar nanti di Belanda tidak perlu mencari Sarah lagi, Sarah telah lama meninggalkannya, sedang Doel sekarang juga telah memiliki Zaenab, yang telah begitu baik dan menjaga Mak selama ini.
Waktu awal-awal nonton seperti nostalgia lagi dengan tokoh-tokohnya, terutama celetukan khas si Mandra, bikin kita ketawa-tawa, menghidupkan suasana. Tidak ada pemain yang diganti dalam film ini, semuanya masih sama seperti yang dulu. Mas Karyo- yang diperankan oleh Basuki- juga diceritakan telah meninggal beberapa tahun silam. Satu-satunya pemain baru, ya, anaknya Atun yang terpaksa harus ke sekolah dengan buku diiket-iket karna tas sekolahnya dibawa Mandra ke Belanda XD Disamping kegalauan Doel dan juga kepolosan Zaenab. Duh, jadi gemas sendiri karena konfliknya ga berkesudahan. Tapi mereka harus menjalani hidup yang seperti itu? Kadang bikin saya takut, Tuhan, aku tidak ingin menjadi seperti salah satu dari ketiganya, Sarah, Doel, apalagi Zaenab.
Kembali ke cerita, di Belanda Mandra dan Doel bertemu Hans, beebrapa hari di Belanda sampai akhirnya Doel bertemu Sarah di Museum, sebuah percakapan yang kaku banget diantara dua orang yang masih suami istri setelah 14 tahun tidak bertemu. Ada sebuah alasan mengapa setelah sekian lama Sarah ingin bertemu kembali dengan Doel, yaitu bahwa anak mereka yang juga dinamai Abdullah- panggilannya Doel, ingin sekali bertemu Bapaknya : Si Doel.
Beberapa adegan yang terjadi terasa biasa saja, seolah tak terjadi apa-apa, benar-benar terasa biasa-biasa aja, konfliknya kurang drama, tidak sedramatis yang saya bayangkanlah pokoknya *atau hidupku aja yang kelewatan drama. Rasanya kayak liat film dokumenter. Momen pertemuan Doel dan Sarah, atau Doel dengan anaknya, rasanya, ahh, begitulah. Tapi, zaman sudah berbeda, usia mereka juga tak lagi muda. Mungkin susah untuk membangun konfliknya, apalagi kalo dibikin terlalu dramatis kaya sinetron-sinetron jaman sekarang, rasanya gak bakal cocok juga.
Narasi waktu pertemuan Doel dengan anaknya.. Doel disitu hanya diam saja, ga ada inisiatif apa-apa. Memang sih anaknya tidak begitu ramah pada awalnya, wajar lah ya baru bertemu bapaknya untuk ertama kali setelah belasan tahun. Tapi Doel disini menyikapinya dengan dingin. Iya, tau sih Doel ini dari mukanya sangat dipenuhi rasa bersalah. Tapi, Doel disitu beda sekali dengan apa yang ada dibayanganku, aku menantikan momen super drama *halah. Bukankah ia harusnya bisa jadi panutan orang tua yang mengasihi anaknya? Seperti Babe Sabeni selalu mengasihi dan melakukan apapun untuk Doel. Di sana malah terlihat kesan seperti Doel menyalahkan anaknya yang tidak sopan kepadanya. Doel, seakan menjauh dari fakta-fakta bahwa ia pernah sehebat itu dalam sinetron. Yang katanya anak gedongan, yang katanya anak betawi yang jadi insinyur hebat.
Oke, baiklah, sekarang saatnya komentarrr panjang lebarrr~
Yang jelas selama film berjalan itu saya geregetan banget, dari tadi Mandraa terus yang bawel, sementara yang punya konflik sesungguhnya, Si Doel ini terlihat lebih banyak diam, meneng, meski dari raut wajahnya terlihat sangat murung, bingung, penuh rasa bersalah, ahh, keliatan seperti ada banyak sekali hal yang ada di pikirannya. Begitulah, tapi tetap saja geregetan dengan pria macam ini, tidak bisakah ia lebih tegas?
Ohiya, sedikit singkat cerita kilas balik, bahwa diceritakan sebelumnya bahwa pada akhirnya Doel menikah dengan Sarah, sedangkan Zaenab juga menikah dengan orang lain. Namun ada suatu kejadian yang membuat Sarah sangat cemburu dan marah hingga memutuskan pergi ke Belanda, pada waktu itu Sarah dalam keadaan hamil. Sedang Doel pada saat itu tidak punya banyak uang untuk menyusul ke Belanda, pun tidak tau jika sampai disana, dia harus mencari kemana. Sepuluh tahun berlalu, kemudian ia menikah siri dengan Zaenab.
Tapi kalau diingat lagi dari sejak jaman sinetron dulu, memang si Doel ini digambarkan sebagai pria yang memang tidak tegas terhadap Zaenab dan Sarah, meski kalau diliat lagi ya, Doel ini jelas cintanya sama Sarah, tapi ia tak mampu tegas dan selalu terlihat baik dan perhatian pada Zaenab, hingga, ya, membuat Sarah marah dan cemburu. Doel tau jelas bahwa itulah yang selalu menimbulkan masalah diantara ia dan Sarah, dan Doel tau jelas bahwa Sarah mudah sekali cemburu pada Zaenab, tapi tetap saja, ia tetap melakukannya kan? Sedih juga kalo jadi Sarah.
Duh, waktu saya ngobrol sama Ayu, dia bilang "Duh, kasian banget ya mbak si Zaenab. Duh, aku ga mau deh kalau ada di posisi dia. Sakit hati mulu dia Nih, kapan senengnya.." Saya diam dan membalas "Aku juga tidak mau kalau ada di posisi Doel. Harus punya kenangan mencintai seseorang sedalam itu tapi tak mampu berbuat apa-apa, bahkan ketika telah bersama Zaenab pun tetap harus memikirkan orang lain : Sarah. " Dan kami berdua jelas sama-sama tidak mau berada di posisi Sarah, yang harus selalu cemburu karena pria yang ia cintai begitu baiknya kepada wanita lain yang jelas-jelas menaruh hati pada pasangan kita. Hah, kesel juga lama-lama nulisnya.
Saya ingat di akhir film, ada satu scene dimana Doel bicara agak panjang, eh, itupun monolog, tentang permintaan maafnya kepada tiga orang wanita : Mak, Sarah, dan Zaenab. Tiga wanita yang merasa ia sakiti, tanpa pernah bermaksud menyakitinya. Dan voice over pula, bibirnya tetap saja tertutup. Duh aku sedih Doel, bisa lebih tegas dikit ga? Aku gemes. Bahkan setelah belasan tahun berlalu, tetap saja kamu masih terombang-ambing, Doel.
Bang Doel, dek cuma mau bilang, sikapmu yang tidak tegas itu memperlihatkan lemahnya laki-laki, kamu ingin membahagiakan Zaenab sekaligus mendapatkan cinta Sarah? Yah ngga bisa dong Bang. Kecuali kamu nurutin saran penulisnya Mojok, kamu nonton Ayat-Ayat Cinta terus mengikuti jejaknya Fahri T.T
Tapi, bukankah di dalam hidup ini tidak semua hal yang kita inginkan dapat kita miliki, Bang? Tapi, mungkin kisah mereka itu lebih dari sekedar cinta-cintaan biasa, konfliknya mungkin sudah pada level yang berbeda dengan dimana aku berada sekarang, dengan cara pikirku yang sekarang, dengan permasalahan remeh-temeh yang ku hadapi sekarang. Itu pasti jauh berbeda dan cara mereka menyikapinya juga berbeda. Barangkali, satu hari nanti aku dapat lebih bijak lagi.
Ahh, di akhir film masih saja tetap kesal dengan wajah murung Doel, murung bingung penuh rasa bersalah tapi ga berbuat apa-apa. Tapi film ini masih akan berlanjut ke part selanjutnya, ketika Sarah kembali ke Jakarta dan anak Doel mulai sekolah SMA disana. Apakah, di part yang kedua akan ada penyelesaian akhir cerita cinta Si Doel yang terombang-ambing bertahun-tahun ini? Heuu, mari kita nantikan saja sekuel selanjutnya. Semoga penonton ga dibikin geregetan lagi.