Sore hari, 17.00 : Jangan Jumawa
"Feni udah sholat?" tanya seorang Ibu setelah kami berbincang cukup lama tentang operasi yang saya jalani, dan beliau juga menceritakan tentang operasi apendiks yang pernah beliau jalani.
"Belum, Bu.." jawabku kepada salah satu atasanku di kantor itu. Ia bertanya setelah selesai sholat, sedang aku baru di mushola, hanya saja memang sudah sore. Tapi itu hal yang biasa bagiku. Setelah orang-orang pulang, memang baru aku ke mushola untuk sholat ashar kemudian menikmati langit sore hingga matahari membenamkan diri. Terkadang memang masih barengan sama Ibu dan salah satu staffdir. Tapi, hari itu ada Mbak Moly juga, salah satu senior di kantor.
"Oh yaudah, Molly tungguin kalo gitu biar ga sendiri " kata Mba Molly.
"Eh, gausah Mba Molly, aku udah biasa sendiri kok.."
"Hush, jangan suka ngomong begitu." Ibu tiba-tiba menegurku.
"Kenapa, Bu?"
"Bisa jadi nanti menurut Yang Di Atas, kita itu sombong. Seperti saya dulu, kalo liat ada orang operasi, bilanga 'aahh, operasi.. ' kan saya ga pernah, eh, taunya dikasih. Kamu juga jangan begitu, jangan sombong karena sudah terbiasa mandiri dan kemana-mana sendiri begini.. "
"Memang apa yang bisa disombongkan dengan ini, Bu? Pun, bukan sebuah kebanggaan.."
"Ya tapi jangan ngomong begitu lagi ya, kan bersyukur ini ada Moly yang nemenin. Bersyukur juga dikasih pribadi yang kuat, dan berdoa aja siapa tau akan ada yang bisa nemenin terus.."
"Siap, Bu." Hanya seperti itu yang keluar dari bibirku. Tapi rasa-rasanya kok mengena, mungkinkah aku terlalu berbanga? Mampu melakukan apa-apa sendiri, bepergian kemana-mana juga sendiri? -asal bukan kerumah sakit dan jarum suntik- Tapi, bukankah wanita itu pada fitrahnya selalu ingin dilindungi? Ayolah, diriku ini, berhentilah sok kuat dan mencari dan membenar-benarkan diri.
Aku membuka twitter, melihat apa saja yang sedang trending, dan tentu saja twit dari teman-teman disana, banyak sekali yang dibahasnya. Lalu aku teringat sesuatu dan menuliskan "Kita harus mencoba menjadi manusia yang lebih peka, bukan pada gebetan--, tapi pada semesta." Karena kehidupan berjalan bukan sesuai kemauan kita, tapi sesuai kehendak dan rencana Tuhan.
Pernah seorang bilang padaku, saat itu aku masih kuliah dan terkena sebuah musibah. Aku sangat sedih, marah, bingung, kemudian seseorang bertanya padaku.
"Sebelum kejadian ini, apakah kau merasa ada pertanda? "
"Maksudnya?"
"Coba diingat-ingat lagi, apakah sebelumnya kau memiliki firasat hal seperti ini akan terjadi. Atau pertanda, atau petunjuk, atau apapun.."
Kemudian aku memutar lagi ingatanku beberapa hari ke belakang, dan ternyata aku menemukan beberapa petunjuk dan firasat, yang meski sudah berbunyi tapi tetap saja kuabaikan.
"Kok ditaruh, nanti kalo ilang gimana?" atau "Cobalah diperiksa dulu, apa benar masih ada?" kadang hal itu terlintas di pikranku, tapi kemudian ada satu suara lagi yang bilang "Ahh, tidak mungkin hilang, pasti masih ada." Begitu seterusnya sampai aku diakhir perjalanan dimana aku baru tersadar bahwa benda itu sudah tidak ada. Firasat, kadang memang ada. Tapi selama ini aku menganggap, bahwa firasat hanya bisa datang, sedang kejadiannya tetap tak dapat dicegah. Banyak kan film2 seperti itu? Meski ada yang bisa merubah, paling punya kekuatan super seperti memutar waktu. Tapi firasat biasanya hanya berlalu.
Tapi bagaimana jika itu pertanda agar kita waspada? Pernah aku menonton sebuah film, agak lupa judul dan pemainnya. Intinya mereka tergabung dalam sebuah klub firasat, melatih rasa agar lebih peka. Meski pada akhirnya setiap kejadian tetap terjadi sebagaimana mestinya. Namun ada yang menarik, ketika seseorang sudah memperingatkanmu, untuk mengabaikan atau tetap melanjutkan rencananamu, bukankah itu sebuah pilihan? Bukankah itu murni keputusan kita sendiri? Apapun itu, pada akhirnya kita bisa bilang, bahwa mungkin ya memang jalannya harus begitu.
Yang bisa dijadikan pelajaran, yang bisa diambil manfaat untuk masa depan, tidak ada salahnya kita mencoba lebih peka pada semesta. Memang ada Allah yang Maha Membolak-balikkan hati, tapi Allah pun mengatakan bahwa Ia takkan merubah nasib seseorang hingga orang itu berusaha merubah nasibnya sendiri. Jadi, segala sesuatunya masih bisa diusahakan kan?
Malam hari menjelang Isya, 18.40 : Tentang Pilihan
September juga menjadi plot twist, atas beberapa bagian dalam hidupku yang terjadi di bulan-bulan ini. Mirip seperti quote yang ku baca beberapa waktu lalu yang menyemogakan agar September menjadi plot twist dan hal yang ditunggu-tunggu akan datang.
Ya, bulan dimana aku akhirnya memberanikan diri untuk operasi yang sudah ku tunda-tunda sejak luamaa. Selain itu, akhirnya dapat panggilan diklat dasar yang udah lama ditunggu, yang teman-teman seangkatan udah semua kecuali aku. Rasanya seperti kejutan, beginikah rencana Tuhan?
Meski memang pada perjalanannya, aku sempat dihadapkan pada beberapa pilihan sulit. Untuk menjalani operasi, aku harus batal ke traveling ke HK. Untuk mengikuti diklat itu, aku harus batal ke Madura, Baduy, Jogja, Sukabumi. Ah, memang waktunya lumayan lama dan siapa sangka? Ku hanya bisa berencana beberapa minggu kedepan akan kemana saja, rupanya rencana Tuhan lain, jauh lebih manis, Alhamdulillah.
Kalau boleh dibilang, sejak awal juga sudah ragu untuk ke HK ketika tau tanggal operasi yang hanya H-1 keberangkatan. Bukankah aku bisa saja memilih menunda atau membatalkan operasi? Nyatanya, setelah ku pikir lagi, aku tidak mau. Tapi, tetap ingin mengusahakan berangkat ke HK agar tidak mengecewakan teman. Karena rasanya dikecewakan itu, tidak enak. Tapi, lagi dan lagi dan lagi, banyak sekali kendala dan keadaan-keadaan dimana ada hal-hal yang mengarahkan untuk tidak berangkat. Termasuk pas nanya sama Shifa, sebenarnya aku masih mengusahakan sampai paginya. Tapi katanya, tidak ada pilihan bagiku untuk beli tiket baru, pergi atau ikhlaskan. Tegas sekali dia kali ini. Belum lagi, ya, melihat adikku yang belum tidur dengan baik selama menunggui aku 2 hari di rumah sakit.
Saat pendaftaran KM, sebenarnya aku juga ragu. Itulah mengapa aku baru daftar last minute, itupun didaftarkan teman karena pasca op, belum bisa tangan ini digerakkan dengan baik, apalagi ngetik essay panjang lebar, haha. Lagi lagi, karena bujuk rayu teman, tapi ini beda, karena aku tau sekali ini adalah kegiatan positif. Dan menjadi relawan juga salah satu hal yang aku suka.. terlibat dalam kegiatan sosial apapun, aku selalu suka dari jaman kecil. Memaksakan sih bisa, tapi, seperti pada yang ku bahas di poin sebelumnya, apa iya mau memaksa dan mengabaikan pertandaa?
Kan, pada akhirnya semua itu adalah kembali kepada keputusan-keputusan kita, semacam diuji terhadap pilihan yang kita ambil. Semua pilihan ada konsekuensinya kan? Yang biasanya ku pertimbangkan dan perhitungkan, sekarang udah agak longgar dan memberi ruang pada semesta untuk menunjukkan, karena jelas bahwa kehidupan ini berjalan bukan semauku, bukan berdasar semua rencanaku. Ya, aku harus memberi ruang segala pertanda itu untuk memasuki ranah pertimbanganku.
Pagi hari, 06.40 : Positif Thinking
Ini tentang pagi hari sebelum aku menjalani hari itu, setelah mandi, aku bersiap ke kantor dan menyempatkan mengecek beberapa pesan. Ada satu yang menarik disitu, salah satu senior paling iseng udah PM aja pagi-pagi (ini cukup sering sih, kalo ga pagi ya malem mau tidur, atau bahkan sama-sama dikantor pun beliau suka PM aneh-aneh, minimal ngebully, maksimal menasehati).
Jadi, beliau pagi-pagi itu mengirimi beberapa meme, dan karena pagi-pagi sekali aku baca ketika baru pertama ngecek ponsel, ya, dan efek pengirim juga, jadinya ikut emosi 😂 Siangnya, baru saya liat di twitter bahwa meme itu memang sedang viral, walah, kirain Bapak itu sengaja nyari2 buat dikirim ke saya, haha. Tapii, bukan untuk membully saya kok, lebih ke mengkritisi dan menasehati. Meski, Bapak ini kritiknya keras, kalau menghujat itu rasanya beliau punya kamus tersendiri. Made by Beliau.
Tapi kalau saya baca lagi, toh, meme itu tidak seburuk itu. Ya, tujuannya baik meski caranya, bagi sebagian orang, termasuk saya merasa itu kurang tepat. Namun selama tujuannya baik, saya rasa masih bisa dimaklumi. Dari sini juga saya dapat pelajaran untuk diri saya, untuk tidak terlalu gegabah dalam bersikap. Kadang saya orangnya spontan loh, meski saya termasuk orang yang pemikir dan itung2an soal tindakan dan pilihan kalimat yang saya pakai untuk mengutarakan sesuatu. Selain itu juga saya ingin lebih banyak melihat sisi positif dari keadaan atau kejadian, apapun itu, baik atau buruk kan selalu bisa dilihat dari sisi positifnya.
Hanya saja, jangan berlebih. Seperti ketika saya mengenal seseorang yang selalu befikir positif dan tanpa sadar memiliki ekspektasi pada orang tersebut sebaik dalam imajinasi saya, namun ketika itu tidak sesuai, kan saya sendiri yang sakit hati. Kata seorang teman bagus sih, kita bisa selalu berfikir positif pada orang lain, tapi jangan berlebihan. Contohnya.. Waktu kecil, saya pernah punya teman cukup dekat tentu saja saya merasa dia baik, ternyata.. Suatu hari saya dipanggil ke bank tempat biasa saya menabung (tabungan anak sekolah jaman dulu yang hanya beberapa puluh ribu itu) dan ditunjukkan oleh pegawai banknya, "Kamu tau ini? Ini tulisan kamu bukan? Kamu yang nyuruh? " Rasanya kayak ada petir menyambar, pegawai bank menunjukkan slip penarikan tabungan yang bukan tulisan saya. Dengan identitas dan buku tabungan saya, tapi bukan saya. Dan nyatanya, saya harus kenal sekali tulisan tangan itu, haruskah sejauh itu? Gusti. Itu mungkin pertama kalinya saya dihianati, sakit banget.
Tapi, meski sesakit itu, toh aku tidak bisa berhenti. Selalu saja, menganggap semua orang itu adalah orang baik. Bukankah memang begitu? Bagiku, pada dasarnya semua orang adalah orang baik, tentang menjadi orang yang belum baik, itu dipengaruhi banyak sekali parameter, lingkungan, pertemanan, pekerjaan, kebutuhan, tapi tentu saja semua adalah keputusan-keputusan kita sendiri. Kamu, mau mendrive dirimu kemana? Tapi apapun itu, selama kita memiliki iman dan menghadirkan Tuhan dalam setiap keputusan, semoga itu selalu keputusan yang baik. Semua akan menjadi ringan, berifikir positif, namun tidak berekspektasi yang diluar kemampuan.
Allah bersama persangkaan hambanya, bukankah sudah seharusnya kita selalu berbaik sangka?
Pada akhirnya, bergantung itu hanya pada Allah Ta'ala semata, bukan pada manusia.