[REVIEW] TETRALOGI BUMI MANUSIA - PRAMOEDYA ANANTA TOER
Rabu, September 13, 2017
Sebenarnya, saya masih tergolong bukan pecandu buku. Kalah jauh lah sama temen-teman yang koleksi bukunya udah kayak perpustakaan XD. Membaca buku juga tidak sebanyak itu, jenis buku favorit saya adalah : novel. sastra. romance. XD Blas ga ada kaitannya sama kerjaan, tapi tiap hari bacain stackoverflow berjam-jam wk.
Kebetulan, saya sedang membaca tetralogi Bumi Manusia. Meski sebenernya merasa tidak pantas untuk meriview karya seorang Pramoedya Ananta Toer, tapi buku-bukunya benar-benar merangsang kita untuk menulis, tentang apa saja yang ada dibenaknya saat ini, tentang kisah-kisah yang diceritakan maupun tentang konflik yang terjadi di zaman itu yang berhasil digambarkan dengan sangat apik sekaligus pelik oleh Mas Pram.
Saya baru pertama kali membaca karya mas Pram, saya terbuai dengan alur ceritanya, bahkan saya tergila-gila dengan gaya bahasa dan pilihan katanya. Terkadang berlebih-lebihan, tapi keluasan penjabaran yang berlebihan itulah yang terkadang juga membuat saya terkagum. Bisa dilihat pula dalam ulasan saya ini, bahasanya, sudah banyak terpengaruh olehnya.
Sekarang sampai buku ke tiga, Jejak Langkah. Awalnya memang sempat bosan, ketika membaca Bumi Manusia, mungkin belum terbiasa. Tapi lama-kelamaan, halaman demi halaman saya pahami alurnya dan mulai tenggelam dalam ceritanya. Ini novel semi-sejarah, mengajak saya berkelana dengan setting akhir 1800an, awal 1900.
Saya baru ingat, bahwa ketika awal membaca buku ini, seorang teman katakan “Kamu baca ini? Aku dulu mau baca tapi tak boleh orang tuaku” Saya belum ngeh waktu itu kenapa, sekarang sudah sedikit-sedikit.
Mas Pram (begitu beliau biasa disebut, itupun berdasarkan apa yang saya baca di beberapa ulasan) mampu menjabarkan keadaan saat itu dengan sangat detail, sangat luas, dari sisi lain yang belum pernah saya tahu. Sisi selain di buku-buku pelajaran sejarah. Bagaimana belanda dan hukum belanda memperlakukan pribumi. Bagaimana pribumi diperlakukan seperti tidak mengerti akan hak-haknya sendiri.
Mas Pram (begitu beliau biasa disebut, itupun berdasarkan apa yang saya baca di beberapa ulasan) mampu menjabarkan keadaan saat itu dengan sangat detail, sangat luas, dari sisi lain yang belum pernah saya tahu. Sisi selain di buku-buku pelajaran sejarah. Bagaimana belanda dan hukum belanda memperlakukan pribumi. Bagaimana pribumi diperlakukan seperti tidak mengerti akan hak-haknya sendiri.
Hari ini adalah harinya mas Pram, ketika muncul doodle di Google, saya langsung klik dan terbuka beberapa link mengenai beliau. Yang pertama, tentu saja dari Wikipedia. Dari sana baru saya tau, banyak sekali penghargaan yang beliau raih, dan rentetan sejarah panjang keluar masuk penjara dan beberapa karyanya yang dibakar para tentara. Saya juga baru tahu bahwa nama asli beliau adalah Pramoedya Ananta Mastoer, namun kata ‘Mas’ dihilangkannya, karena ‘mas’ mencirikan Jawa. (menurut yang saya baca di wikipedia).
Ahh, di tetralogi ni juga diceritakan kisah cinta Minke (baca: Mingke) dengan Annelies, si gadis peranakan yang cantik. Kisah Minke dan Ann ini juga yang diangkat menjadi cerita "Bunga Akhir Abad." Disinilah awal mula perkenalan tokoh utama dan bagaimana tokoh utama bangga dalam busana Belanda, seorang jawa yang mampu bersekolah tinggi pada jamannya dengan anak-anak Belanda. Hingga ia mulai belajar dan mengenal bangsanya sendiri dari sesosok wanita tangguh, pribumi yang pemberani, kuat dan cerdas, yang tak disangka pribadi seperti itu datang dari seorang Nyai, ibu Ann. Nyai- pada masa itu merupakan sebutan untuk simpanan bagi orang Eropa bernama Tuan Mellema, tidak dinikahi secara resmi tapi tinggal dirumahnya bahkan melahirkan anak-anaknya, melahirkan anak berdarah campuran.
Nyai Ontosoroh sendiri adalah pribumi asli, meski secara moral dipandang amat rendah karena menjadi gundik yang tentu saja bukan kemauannya - ia dijual oleh ayahnya sendiri kepada Tuan Mellema saat berusia 14 tahun. Tapi Nyai Ontosoroh bukanlah budak, ia tidak diatur, tapi mengatur banyak orang untuk bekerja di perusahaannya. Ya, sejak Tuan Mellema tidak lagi mengurusi perusahaannya, semua perkara itu diurus oleh Nyai Ontosoroh. Ia mengedukasi dirinya, belajar membaca, menulis, berbahasa belanda, memperkaya dirinya dengan pengetahuan, membaca banyak buku termasuk soal hukum, belajar berternak dan segalanya tentang perusahaan yang ia urusi sendiri dengan bantuan dua anaknya, Annelies dan Robert Mellema.
“Sungguh teman-teman sekolah akan menertawakan aku sekenyangnya melihat sandiwara bagaimana manusia, biasa berjalan sepenuh kaki, diatas telapak kaki sendiri, sekarang harus berjalan setengah kaki, dengan bantuan dua belah tangan. Ya Allah, kau nenek moyang, kau, apa sebab kau ciptakan adat yang menghina martabat turunanmu sendiri begini macam” (hal. 181, Minke)
Kemudian perlawanan dimulai ketika Tuan Mellema ditemukan meninggal dan anak sah Tuan Mellema, Ir. Maurits Mellema datang dari Belanda untuk mengurus semua warisan yang ditinggalkan - yang selama ini diurus oleh Nyai Ontosoroh, termasuk Annelies. Minke dan Nyai Ontosoroh harus melawan ketidakjelasan hukum pada masa itu yang berujung pada perlakukan yang tidak adil terhadap mereka yang bukan totok (Belanda asli), dimana Minke yang telah berusaha memperjuangkan istrinya bersama-sama dengan ibunya namun tetap harus kalah dan merelakan istrinya diboyong ke Belanda.
"Kita telah melawan Nak, Nyo. Sebaik-baiknya. Sehormat-hormatnya" Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia.
Memasuki Anak Semua Bangsa, saya makin terlena. Ini buku tercepat dari tetralogi ini yang saya selesai dalam membacanya, kurang dari seminggu (bumi manusia hampir sebulan). Ditengah-tengah pekerjaan, kuliah dan ngaji. Bagaimana si Minke, tokoh utama, yang dibilang tidak kenal bangsanya sendiri, oleh Jan Marais (sabahatnya, pelukis) dan seorang lain yang berprofesi sebagai jurnalis, yang lebih banyak menulis dalam bahasa Melayu, agar dapat dibaca dan dipahami oleh para pribumi, sementara Minke, selalu menulis dalam bahasa Belanda. Tak pernah menulis Melayu apalagi Jawa, ia malu. Belanda menjadi suatu keagungan sendiri baginya, tak terbantahkan. Segala ilmu pengetahuan dan pendidikan datang daripadanya, Belanda. Namun pada Anak Semua Bangsa, Minke mulai mencoba mengenal bangsanya sendiri. Melalui keluarga petani Trunodongso, yang tidak mendapatkan hak-haknya, tanah yang disewakan secara paksa dengan upah yang tidak sebanding, bahkan kejadian pemberontakan yang menewaskan banyak petani.
Di buku ketiga, Jejak Langkah. Menceritakan petualangan Minke ke Betawi, bersekolah dokter. Disini pula ia mulai mengenal kaum liberal Belanda, bahkan diajak dalam sebuah pertemuan kaum liberal belanda tersebut. Disini pula, Minke bertemu dengan Mei, wanita tiong hoa yang memasuki Hindia dengan Angkatan Muda Tiongkok. Saya baru sampai sini, baru sampai cerita dimana Minke mulai belajar mengenai etnis Tiong Hoa. Dan, dalam buku ini juga ada penggalan cerita yang berkisah tentang pertemuan tokoh utama dengan Kartini, ya, Raden Ajeng Kartini pada masanya. Tentu saja Fiksi. Tapi saya dapat melihat beliau juga sangat mendukung kesetaraan dan tidak suka dengan budaya Jawa yang bahwa wanita setelah menikah adalah sepenuhya milik suaminya, jiwa, dan raganya.
Sebenarnya meski terbuai dengan tulisannya, memang ada beberapa yang tidak saya setujui. Berlawanan dengan apa yang saya yakini, sebagai Islam, dan sebagai Jawa. Tapi karya tetaplah karya, dan saya menikmatinya sebagai karya sastra. Tokoh utama Minke, orang yang keras kepala, namun berpendirian kuat. Ia juga cerdas, penulis yang gilang gemilang dalam karirnya. Yang paling membuat saya trenyuh dalah hubungan si Tokoh Utama dengan sang Bunda. Jawa asli. Yang selalu menasehati tokoh utama dengan sangat lembut, tak pernah marah, selalu penuh restu, selalu mengampuni bahkan sebelum tokoh utama meminta ampun dari Sang Bunda. Sang Bunda mengharap agar tokoh utama bangga menjadi Jawa. Mau menulis Jawa agar sang Bunda dapat mengerti tulisannya, menuruni tradisi-tradisi Jawa dari nenek moyang. Meski tokoh utama tak pernah mau, malu menulis melayu, tak mau menulis Jawa.
Dalam busana Belanda ia bangga, dalam baju jawa dan kaki hanya bercakar, ia malu. Ia terus mencari kebanggan dalam baju belanda. Ibu nya tak marah, termasuk ketika ia menikahi Ann (Indo, cerita panjangnya dengan Minke di jabarkan pada Bumi Manusia- kemudian Ann meninggal, dalam buku Jejak Langkah), termasuk pula ketika ia mengambil Mei - wanita tiong hoa - sebagai istri, meski sang Bunda sangat berharap anaknya mengambill istri Wanita Jawa keturunan Priyayi, tapi Bunda selalu mengampuni. Bunda selalu menyayangi dan mengasihi, mendukung semua pilihan Minke. Bunda mengunjungi Minke ketika masih di Wonokromo, mengunjungi pula ketika Minke di Betawi. Meski Minke tak pernah memberi kabar. Hubungan Minke dengan ayahanda juga disajikan teramat sentimentil. Ayahanda Minke murka kepada Minke yang dianggapnya pembangkang.
Ini adalah buku tetralogi, belum benar kiranya bila saya tuliskan ulasan panjang lebar sementara buku juga belum juga selesai saya baca. Saat membacanya saya serasa diajak ikut menjadi Minke, yang pelan-pelan dengan banyak kejadian, banyak pelajaran mulai mengenal bangsa sendiri, dan kelanjutannya bagaimana, entah, saya belum tahu. Saya rasa, sampai saat ini saya masih menikmati ceritanya. Semoga semakin seru, harapan saya sih, Minke mulai memperjuangkan sebangsanya.
Ini buku sastra lama yang saya baca, karena penasaran. Kalau baca buku mas Pram, seperti disambar-sambar petir. Selain karya mas Pram, yang pernah saya baca adalah karangan Taufik Ismail, sudah lama, waktu SMA. Sulit rasanya mencari buku-buku seperti itu sekarang. Puisi tetap saya jatuh cinta pada tuisan Sapardi Djoko Damono.
Oh ya, entah kenapa saya suka sekali buku-buku roman, sejarah atau karya sastra semacam itu, kalau mau memberi saya hadiah, belikan buku saja yang berbau sejarah. Fiksi sejarah atau semacamnya. Entah mulai kapan, masa lalu lebih menarik buat saya ketimbang masa depan, duh, apa ini salah satu penyebabnya saya susah move-on? T.T
Mengapa begitu mencintai masa lalu? Buku yang dibaca latarnya lebih suka jaman dulu, film juga sukanya film kolosal, bahkan naik kereta juga, sukanya ambil tempat duduk yang mundur T.T Oke #abaikan alinea terakhir ini.
1 comments
aku juga suka tulisannya tere liye kak :)
BalasHapusmari meninggalkan jejak :)